Namun, ada benang merah yang menghubungkan leblouh -demikian tradisi itu disebut di Mauritania- dengan tren kelangsingan. Yakni, sama-sama menyiksa wanita. Diet untuk menjadi langsing bisa menimbulkan bulimia, sedangkan agar bisa endut secara cepat, para wanita di Mauritania dipaksa mengonsumsi makanan dan minuman dalam kadar yang di luar batas. Kalau kemudian mereka muntah, muntahannya juga harus ditelan.
Seperti dilansir The Guardian Minggu lalu (1/3), leblouh sebenarnya sudah ditanggalkan bertahun-tahun. Namun, sejak kembalinya pemerintahan junta militer ke negeri bekas jajahan Prancis Barat tersebut tahun lalu, tradisi lama itu dihidupkan.
Aminetou Mint Ely, seorang pejuang hak asasi wanita, mengatakan bahwa tradisi itu berkaitan erat dengan budaya kawin muda. Di wilayah pedalaman negeri muslim berpenduduk sekitar 3,3 juta tersebut, gadis berusia lima, tujuh, dan sembilan tahun memang lazim dipaksa menikah. Nah, sebelum dipertemukan dengan calon suami, mereka dipaksa menjalani ritual leblouh.
Para gadis belia yang akan menjalani leblouh dipisahkan dari keluarganya untuk dibawa ke tempat “penggemukan”. Di sana mereka akan diasuh oleh bibi atau neneknya. Mereka diberi makan nasi serta minum susu unta dan air dengan porsi jumbo. Dalam sehari mereka diharuskan makan dua kilogram nasi yang dicampur dengan dua gelas mentega dan 20 liter susu unta.
“Di Mauritania, ukuran tubuh wanita mencerminkan seberapa luas dia menempati hati suaminya,” ujar Mint Ely.
Menurut Mint Ely yang juga ketua Asosiasi Wanita Kepala Rumah Tangga itu, kembali berkembangnya leblouh itu adalah sebuah kemunduran. “Padahal, kita sudah mempunyai menteri urusan wanita. Kuota 20 persen wanita di parlemen sudah terpenuhi. Kita juga punya diplomat dan gubernur perempuan.
SOURCE