| terselubung
 
 Sejarah Uang Indonesia
 21 May 2011, 11:00 pm
 
 Keadaan ekonomi di  Indonesia pada awal kemerdekaan ditandai dengan hiperinflasi akibat  peredaran beberapa mata uang yang tidak terkendali, sementara Pemerintah  RI belum memiliki mata uang. Ada tiga mata uang yang dinyatakan berlaku  oleh pemerintah RI pada tanggal 1 Oktober 1945, yaitu mata uang Jepang,  mata uang Hindia Belanda, dan mata uang De Javasche Bank.
 
    Mata uang Hindia Belanda dan mata uang De  Javasche bank
 Diantara ketiga mata uang tersebut yang  nilai tukarnya mengalami penurunan tajam adalah mata uang Jepang.  Peredarannya mencapai empat milyar sehingga mata uang Jepang tersebut  menjadi sumber hiperinflasi. Lapisan masyarakat yang paling menderita  adalah petani, karena merekalah yang paling banyak menyimpan mata uang  Jepang. 
 Mata  uang Jepang (Dai Nippon Teikoku Seihu)  
 Kekacauan ekonomi akibat  hiperinflasi diperparah oleh kebijakan Panglima AFNEI (Allied Forces  Netherlands East Indies) Letjen Sir Montagu Stopford yang pada 6 Maret  1946 mengumumkan pemberlakuan mata uang NICA di seluruh wilayah  Indonesia yang telah diduduki oleh pasukan AFNEI. Kebijakan ini diprotes  keras oleh pemerintah RI, karena melanggar persetujuan bahwa  masing-masing pihak tidak boleh mengeluarkan mata uang baru selama belum  adanya penyelesaian politik. Namun protes keras ini diabaikan oleh  AFNEI. Mata uang NICA digunakan AFNEI untuk membiayai operasi-operasi  militernya di Indonesia dan sekaligus mengacaukan perekonomian nasional,  sehingga akan muncul krisis kepercayaan rakyat terhadap kemampuan  pemerintah RI dalam mengatasi persoalan ekonomi nasional. 
 Karena protesnya tidak  ditanggapi, maka pemerintah RI mengeluarkan kebijakan yang melarang  seluruh rakyat Indonesia menggunakan mata uang NICA sebagai alat tukar.  Langkah ini sangat penting karena peredaran mata uang NICA berada di  luar kendali pemerintah RI, sehingga menyulitkan perbaikan ekonomi  nasional. 
 Oleh karena AFNEI tidak  mencabut pemberlakuan mata uang NICA, maka pada tanggal 26 Oktober 1946  pemerintah RI memberlakukan mata uang baru ORI (Oeang Republik  Indonesia) sebagai alat tukar yang sah di seluruh wilayah RI. Sejak saat  itu mata uang Jepang, mata uang Hindia Belanda dan mata uang De  Javasche Bank dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian hanya ada  dua mata uang yang berlaku yaitu ORI dan NICA. Masing-masing mata uang  hanya diakui oleh yang mengeluarkannya. Jadi ORI hanya diakui oleh  pemerintah RI dan mata uang NICA hanya diakui oleh AFNEI. Rakyat  ternyata lebih banyak memberikan dukungan kepada ORI. Hal ini mempunyai  dampak politik bahwa rakyat lebih berpihak kepada pemerintah RI dari  pada pemerintah sementara NICA yang hanya didukung AFNEI.
 
 Untuk mengatur nilai tukar ORI dengan  valuta asing yang ada di Indonesia, pemerintah RI pada tanggal 1  November 1946 mengubah Yayasan Pusat Bank pimpinan Margono  Djojohadikusumo menjadi Bank Negara Indonesia (BNI). Beberapa bulan  sebelumnya pemerintah juga telah mengubah bank pemerintah pendudukan  Jepang Shomin Ginko menjadi Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Tyokin  Kyoku menjadi Kantor Tabungan Pos (KTP) yang berubah nama pada  Juni 1949 menjadi Bank tabungan Pos dan akhirnya di tahun 1950 menjadi  Bank Tabungan Negara (BTN). Semua bank ini berfungsi sebagai bank umum  yang dijalankan oleh pemerintah RI. Fungsi utamanya adalah menghimpun  dan menyalurkan dana masyarakat serta pemberi jasa di dalam lalu lintas  pembayaran.  
 Terbentuknya  Bank Indonesia Jauh sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah menjadi  pusat perdagangan internasional. Sementara di daratan Eropa muncul  lembaga perbankan sederhana, seperti Bank van Leening di negeri Belanda.  Sistem perbankan ini kemudian dibawa oleh bangsa barat yang  mengekspansi nusantara pada waktu yang sama. VOC di Jawa pada 1746  mendirikan De Bank van Leening yang kemudian menjadi De Bank Courant en  Bank van Leening pada 1752. Bank itu adalah bank pertama yang lahir di  nusantara, cikal bakal dari dunia perbankan pada masa selanjutnya. Pada  24 Januari 1828, pemerintah Hindia Belanda mendirikan bank sirkulasi  dengan nama De Javasche Bank (DJB). Selama berpuluh-puluh tahun bank  tersebut beroperasi dan berkembang berdasarkan suatu oktroi dari  penguasa Kerajaan Belanda, hingga akhirnya diundangkan DJB Wet 1922.  Masa pendudukan Jepang telah menghentikan kegiatan DJB dan  perbankan Hindia Belanda untuk sementara waktu. Kemudian masa revolusi  tiba, Hindia Belanda mengalami dualisme kekuasaan, antara Republik  Indonesia (RI) dan Nederlandsche Indische Civil Administrative (NICA).  Perbankan pun terbagi dua, DJB dan bank-bank Belanda di wilayah NICA  sedangkan 'Jajasan Poesat Bank Indonesia' dan Bank Negara Indonesia di  wilayah RI. Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 mengakhiri konflik  Indonesia dan Belanda, ditetapkan kemudian DJB sebagai bank sentral bagi  Republik Indonesia Serikat (RIS). Status ini terus bertahan hingga masa  kembalinya RI dalam negara kesatuan. Berikutnya sebagai bangsa dan  negara yang berdaulat, RI menasionalisasi bank sentralnya. Maka sejak 1  Juli 1953 berubahlah DJB menjadi Bank Indonesia, bank sentral bagi  Republik Indonesia.
 
 ------------------------------------------------------------------------------
 
 Banyak orang lupa, bahwa Yogyakarta  selama empat tahun pernah menjadi ibukota Republik Indonesia. Tepatnya  pada 4 Januari 1946 sampai 27 Desember 1949 ibukota Republik Indonesia  ada di Yogyakarta.
 Berpindahnya  ibukota RI saat itu bukan tanpa alasan, situasi Jakarta kala itu dalam  kondisi tidak aman dan roda pemerintahan RI macet total akibat adanya  unsur-unsur yang saling berlawanan. Di satu pihak masih adanya pasukan  Jepang yang memegang satus quo, di pihak lain adanya sekutu yang  diboncengi NICA. Singkatnya, situasi Jakarta makin genting dan  keselamatan para pemimpin bangsa pun terancam. Atas inisiatif HB IX,  ibukota RI berpindah ke Yogyakarta. Hijrah ibukota RI itu merupakan atas  nasehat dan prakarsa Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan dari Yogyalah  persoalan politik bangsa dikoordinasikan. Semua itu bisa berhasil dengan  baik berkat kepemimpinan HB IX.
 
 Dipilihnya Yogya sebagai ibukota RI karena pandangan  politik ke depan dan keberanian Sultan HB IX mengambil resiko. Sehingga  dapat dikatakan HB IX dan masyarakatnya merupakan penyambung kelangsungn  RI dalam menghadapi agresi militer Belanda. Sri Sultan Hamengkubuwono  IX merupakan aktor intelektualis yang memiliki multi status. Selain  sebagai Raja, kepala derah, menteri pertahanan, Sultan adalah key person  dan juru runding dengan Belanda, juga sebagai figur kunci birokrasi  sipil di Indonesia. Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang aslinya bernama  G.R.M Dorojatun, sejak diangkat menjadi Sultan 18 Maret 1940,  menggantikan ayahnya Sri Sultan HB VIII sudah dekat dengan kalangan  rakyat dan tentu saja beliau memahami aspirasi rakyat, termasuk  penderitaan dan harapannya semasa penjajahan Belanda dan Jepang.
 Karena perpindahan ibukota inilah  maka semua uang ORI yang diterbitkan pada tahun 1946 s/d 1949 yaitu seri  ORI II, III, IV dan ORI Baru tercantum kata2 Djokjakarta. Bukan lagi  Djakarta seperti pada seri ORI I.
 
 
  Seri ORI I  (Djakarta, 17 Oktober 1945)
  Seri ORI II  (Djokjakarta, 1 Djanuari 1947)
Seri ORI III (Djogjakarta, 26 Djuli 1947) Seri ORI IV (Jogjakarta, 23 Agustus 1948)Seri ORI Baru (Djogjakarta, 17 Agustus 1949) |