Sejarah Pamijahan Tasikmalaya
Masjid Pamijahan
Gua Pamijahan
Masjid Pamijahan
Gua Pamijahan
Pengkultusan para wali atau sufi di Indonesia mulai berlangsung secara nyata pada abad XVII mengikuti perkembangan Islam di seluruh Nusantara. Tradisi sejarah Islam Jawa telah memperkenalkan ‘Wali Sanga’ yang dianggap sebagai tokoh-tokoh utama pengembang Islam; salah satu diantaranya Sunan Gunung Jati yang menyebarkan agama Islam di Jawa Barat sejak awal abad XVI. Namun setelah wafatnya Sunan Gunung Jati banyak tokoh lain yang juga memainkan peran yang sama seabad kemudian, dan menjadikan Jawa Barat sebagai basis islamisasi, seperti misalnya Syekh Asnawi dan Syekh Yusuf di Banten serta Syekh Abdul Muhyi di Tasikmalaya yang masing-masing mendirikan tarekat sendiri sesuai dengan disiplin tasawuf yang dianutnya.
Sejauh ini telah banyak studi dilakukan terhadap kehidupan dan ajaran yang dikembangkan para sufi tersebut. Banyak pula studi kasus yang difokuskan pada ketokohan Syekh Abdul Muhyi, seperti yang sudah dilakukan oleh Christomi untuk bahan disertasinya di Australian National University, Canberra (2002), namun hampir seluruh penelitian tersebut dioperasionalkan dengan pendekatan filologis dan antropologis dengan tema utama seputar asal-usul tokoh sufi, karya-karya tasawuf yang dihasilkan, jaringan pesantren serta perkembangan tarekat; bukan hanya di Jawa Barat melainkan juga pengaruhnya sampai ke luar Indonesia.
Pendekatan filolofis yang didukung oleh studi antropologis sudah tentu membatasi diri hanya pada kajian naskah-naskah keagamaan yang pernah dihasilkan suatu aliran terekat dan implikasi sosial budaya bagi para penganut tarekat. Masalah-masalah yang kerap muncul ke permukaan adalah berkenaan dengan aspek praksis seperti masalah keruangan dan material.
Dalam kasus Pamijahan misalnya, kita dihadapkan pada pertanyaan: mengapa desa itu dipilih sebagai pusat pengajaran tarekat Syatariyah oleh Syekh Abdul Muhyi, apakah Desa Pamijahan memiliki potensi-potensi tertentu yang mendukung aktivitas keagamaan tersebut? Demikian pula secara formal, jarang dikaji apakah bentuk aktivitas keagamaan itu akan menghasilkan tindak budaya tertentu. Apabila dibandingkan dengan kiprah Sunan Gunung Jati di Cirebon dan Banten, berkat kegiatan pengislaman yang dipusatkan di kedua tempat itu, kini masih tersisa bentuk-bentuk peradaban yang berupa kompleks makam, keraton, masjid dan berbagai tradisi ritual tradisional yang terasosiasi langsung dengan kegiatan pengajaran Islam di Cirebon dan Banten. Semua itu sekarang mestinya menjadi sumberdaya budaya yang potensial bagi pengembangan kepariwisataan daerah itu.
Oleh karena itu, perbandingan tersebut memberi alasan yang pasti mengapa Pamijahan dari perspektif ini perlu diteliti. Masalah pokoknya berpangkal pada pengungkapan aspek-aspek sosial budaya sebagai implikasi dari berkembangnya tarekat Syatariyah di Pamijahan dan bagaimana pengaruhnya sampai sekarang di Jawa Barat.
Permasalahan
Isu tentang pemujaan tokoh wali atau penyebar Islam di Nusantara sering kali menjadi perdebatan sengit di antara kalangan Islam tradisionalis dan modernis. Ironisnya, debat sosial keagamaan itu jarang dilandasi oleh data-data akurat hasil penelitian lapangan. Pada umumnya perdebatan berkisar pada soal praktek ritual keagamaan yang berlangsung di keramat-keramat, yang dianggap menyimpang. Persoalannya kemudian, sebagian besar masyarakat masih tetap melanjutkan tradisi kunjungan keramat itu, baik secara berkelompok maupun sendiri-sendiri. Kompleksitas yang paling tampak pada kegiatan itu menyangkut soal berlanjutnya penghormatan kepada tokoh penyebar Islam. Penghormatan itu kenyataannya memberikan sumber penghidupan bagi masyarakat sekitarnya, sehingga meskipun ada anggapan berada di luar dogma Islam, kegiatan ziarah kubur ke makam keramat dalam tajuk penghormatan wali (cult of saint) akan terus berlangsung sejauh aktivitas itu memberikan dampak luas pada aspek sosial budaya.
Masalah yang akan disoroti dalam tulisan ini pertama-tama terkait dengan keberadaan kompleks makam keramat di tepi sungai tua yang pada salah satu bagian hulunya terdapat gua alam di perbukitan Pamijahan. Penelitian ini mencoba mencari jawaban atas pertanyaan: sejak kapan daerah tersebut menjadi keramat dan unsur-unsur alam yang mendukung terciptanya suasana kekeramatan. Dan terakhir, bagaimana fungsi keramat Pamijahan yang terasosiasi kuat dengan peran Syekh Abdul Muhyi dalam penyebaran Islam di daerah Tasikmalaya bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat.
Kajian ini bertujuan untuk mendokumentasikan gejala-gejala kekeramatan di kompleks makam Syekh Abdul Muhyi, Pamijahan. Dengan menghimpun sumber-sumber pengetahuan sejarah dan budaya yang terefleksi dari perilaku-perilaku sosial keagamaan dan aspek-aspek material sebagai konsekuensi dari pola-pola ritual ziarah ke kompleks makam keramat, tulisan ini diharapkan dapat memahami hagiologi Syekh Abdul Muhyi yang diadopsi dalam keyakinan masyarakat dan diapresiasikan dalam ritual keagamaan. Selanjutnya, pembahasan akan diarahkan untuk memperoleh suatu deskripsi tentang dampak positif dari kegiatan ziarah bagi peningkatan ekonomi masyarakat, sehingga kegiatan ziarah di Pamijahan dapat memberikan kontribusi penting bagi pengembangan pariwisata minat khusus.
Transformasi Ruang
Pengumpulan data lapangan dilakukan di kompleks keramat Syekh Abdul Muhyi, yang secara administratif berada di Desa Pamijahan, Kecamatan Bantar Kalong, Kabupaten Tasikmalaya. Situs yang diteliti mencakup areal bantaran sungai Pamijahan yang mengalir ke pantai selatan Jawa. Daerah ini termasuk ke dalam zona pegunungan selatan yang banyak memiliki gua-gua alamiah, salah satu diantaranya gua Saparwadi yang sekarang menjadi tempat keramat di Pamijahan.
Kondisi situs yang telah menjadi pemukiman padat di sepanjang daerah sakral dari barat laut menunju tenggara sejauh kira-kira 500 meter. Situasi perkampungan yang akan terus mengalami transformasi dengan sendirinya menjadi faktor utama yang menyulitkan penelitian di daerah tepian sungai. Oleh karena itu, pengamatan hanya dilakukan sebatas mencermati gejala-gejala alamiah yang telah mengalami rekayasa terutama ditandai oleh bangunan-bangunan permanen dan semi-permanen di kedua tepi sungai, baik berupa cungkup (kubah) makam, masjid, pondokan peziarah dan terutama menyemutnya rumah-rumah penduduk dan kedai makan.
Mengingat kondisi ini, gejala hunian awal yang dicirikan oleh bekas-bekas okupasi manusia menjadi mustahil diidentifikasi. Demikian pula dengan gua, yang biasanya menjadi basis pertama ciri pemukiman sedenter, karena sejak abad XVII telah menjadi salah satu obyek kekeramatan, tidak memberikan bekas-bekas okupasi. Sehingga, apa yang diamati sekarang, sesungguhnya hanya menyatakan bahwa gua tersebut telah difungsikan sebagai jalur ‘perjalanan suci’. Dalam prosesi sakral itu, para peziarah dapat memasuki pintu di bagian hilir dan keluar di bagian hulu.
Demikian pula pada lokasi yang disebut Makam Syekh Abdul Muhyi di bagian hilir (Kampung Pamijahan) dan Makam Syekh Khatib Muwahid di bagian hulu (Kampung Panyalahan atau Pamasalahan), tanda-tanda okupasi awal tidak dapat diidentifikasi lagi, mengingat di areal makam tersebut telah dibangun konstruksi permanen yang sebagian besar lantainya telah ditutup dengan keramik dan semen; akses para peziarah memasuki kompleks tersebut.
Dari pengamatan lapangan tampaklah bahwa situs Pamijahan telah betul-betul mencirikan salah satu pusat ziarah besar di Jawa Barat. Seperti halnya di Cirebon dan Banten, seluruh desa telah memiliki sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan ziarah: jaringan jalan, terminal bis, tempat parkir, toko-toko souvenir dan rumah-rumah makan dan lainnya. Singkatnya, seluruh areal tertutup oleh bangunan dan jalan; sebuah transformasi budaya pasti akan terus melanda Pamijahan.
Kemustahilan dalam pencarian data lapangan setua abad XVII dapat dibantu dengan menghimpun informasi lisan. Wawancara dalam hal ini menjadi penting sebagai salah satu teknik pengumpulan data. Dalam hal ini, juru kunci menjadi figur pertama dalam kegiatan ziarah, namun hampir seluruh informasinya berkisar pada riwayat hidup tokoh-tokoh yang dikeramatkan di tempat itu. Sudah tentu banyak hal harus dikritisi, mengingat kisah para sufi seringkali bersifat mitos dan legenda.
Berbeda halnya dengan tokoh masyarakat lainnya. Dalam penelitian ini, informasi penting diperoleh dari kepala desa (kuwu) Pamijahan, Oman Abdul Rohman dan juru pelihara situs Gua Saparwadi, F. Ruspendi AAR. Dari kedua tokoh ini diperoleh data tentang pertumbuhan keramat sebagai tempat ziarah besar. Hal ini sudah tentu berkaitan erat dengan kegiatan ziarah baik dalam waktu-waktu biasa maupun dalam kalender hari raya Islam.
sumber : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=4095492