“Shany. Bisakah Kau melupakan taubat dan orientasi hidupmu sejenak, kemudian kembali menikamati tubuhku dua hingga tiga hari saja? Aku benar-benar membutuhkan uang. Aku tunggu kehadiranmu di kota Kairo.” Sms dari Haifa.
Sudah hampir dua tahun aku tak lagi menjadi penikmat tubuh Haifa. Aku sudah melupakan masa laluku yang buruk. Aku tak ingin lagi mengingatnya. Tapi, sms dari Haifa membuatku ingat kembali pada diriku yang bersimbah lumpur dosa, lebih dua belas bulan yang lalu. Tidak banyak yang tahu aku biasa memesan tubuh Haifa kemudian menikmatinya di ranjang Hotel. Sarmota atau pelacur. Haifa seharusnya menyandang predikat itu karena Haifa seolah tak pernah mengalami klimaks ketika melayaniku, kecuali setelah uang pecahan seratus Pound Mesir tujuh lembar kutamparkan pada wajahnya, dengan itu Haifa bisa orgasme. Haifa tetap dipanggil Haifa, tidak ada embel-embel sarmota didepan atau dibelakang namanya. Tidak banyak yang tahu bahwa Haifa seorang Sarmota. Hanya Tuhan, Baba Germo, dan para pelangganya yang tahu. Aku termasuk yang tahu.
Tiga puluh kali aku membeli tubuh Haifa, menghabiskan isi tulang sum-sumku bersama Haifa diatas ranjang Hotel bintang lima di tengah kota. Mungkin sudah lebih dari seratus kali tubuhku dibuat bergetar oleh tubuh Haifa. Tidak banyak yang tahu bahwa Haifa seorang Sarmota. Ketika penetrasi pertama kalinya selesai kulakukan, aku sempat bertanya ke Haifa. “Haifa? Apakah keluarga tahu dirimu seorang Sarmota?” Haifa malah balik bertanya kepadaku. “Shany? Apakah pakaian yang aku kenakan ketika pergi ke Hotel ini berkata aku seorang Sarmota?”
Segera Aku jawab “Tidak! Haifa”. Aku segera menjawab seperti itu. Karena pertama kali Haifa ingin memasuki kamar hotel untuk melayaniku yang perdana, aku sempat kaget, aku sempat berfikir, ada seorang Ustadzah yang ingin masuk Syurga salah nomer kamar Hotel. Aku menginterogasinya terlebih dahulu sebelum Haifa masuk kamar. “Apakah Anda Haifa?” Wanita berpakaian Ninja didepan pintu menganggukkan kepala. Aku tidak mau salah orang. Aku tidak mau ada seorang Ustadzah menceramahiku tentang syari’ah didalam kamar hotel yang sengaja kupesan untuk bermaksiat, berdua bersama Haifa. Aku tidak mau ada seorang Ustadzah mendoktrinku untuk pendirian Negara khalifah. Yang aku butuh hanya Haifa. Sarmota Asli Mesir bertarif 700 pound sehari semalam. Aku sudah memesanya mulai dari hari kemarin lewat ponsel.
“Tuan Shany! Aku Haifa.” Ucap Haifa dengan bahasa Mesir prokem, lirih.
Suara Haifa berbeda ketika dari spiker hapeku dan ketika dari balik cadarnya. Suaranya tak begitu manja jika keluar dari balik Hijab. Mungkin karena pengap suara, sedangkan mata Haifa belo, tapi sorotnya tajam dari balik celah .
“Tuan Shany! Aku Haifa, Sarmota yang Anda pesan mulai dari hari kemarin.” Ujar Haifa, membangunkanku dari berfikir bahwa ada seorang Ustadzah yang ingin masuk Syurga salah nomer kamar Hotel.
Tangan kananku segera menjemput tubuh wangi Haifa, mawar wangi tubuhnya, aku tak tahu parfum merek apa yang disemprotkan ke tubuh Haifa. Aku segara mengunci pintu kamar hotel. Haifa bediri di depan tubuhku. Kepala Haifa satu garis horizontal dengan kepalaku. Tubuh Haifa masih datar, cadar dan baju blus setanah warna hitam masih membungkus tubuhnya. Haifa melempar tas tengteng keatas ranjang, tas yang berisi kosmetik dan alat melacur yang lain.
Kedua mataku menatap Haifa, tanpa diminta Haifa segera menarik cadarnya. Aku tak melihat apa-apa setelah itu. Kecuali rincian-rincian keindahan yang aku kalkulasi menjadi keindahan yang sempurna. Seluruh kulit wajah dan leher Haifa putih mulus, kecuali kedua pipi dan bibirnya yang merah daging semangka. Bulu mata Haifa manja ketika bergerak mengikuti kedipan dua bulatan. Dua alis misang hingga pelipis memayungi kedua bola mata Haifa. Karet warna pink menguncir rambut pirang Haifa, ke belakang. Hah! Haifa yang sebenarnya jauh lebih cantik daripada Haifa didalam image file yang dikirim lewat imail hari kemarin.
“Haifa, Kamu sangat cantik” Bahasa kagumku pada Haifa yang sedang melepas kaos tangannya. Berpacar coklat sepuluh kuku jari-jemari lantiknya.
“Anda Tuan Shany? Benar?” Haifa bertanya. Haifa juga takut salah orang. Haifa adalah seorang Sarmota. Tubuhnya hanya bagi siapa yang bayar. Aku mengerti Haifa. Haifa mulai membuka kancing baju blus-nya.
“ Benar! Aku Shany, pria kurang ajar yang akan membeli dan menikmati tubuhmu hingga besok pagi.” Tubuh utuh Haifa tak lagi datar, bergerak menuju kearahku.
“Tuan Shany. Anda tidak kurang ajar. Anda pahlawan bagi Haifa. Mulai detik ini hingga besok pagi Anda adalah pelukis dan tubuh Haifa adalah kanvas, terserah Anda akan menumpahkan tinta di mana? Di setiap titik dari tubuh Haifa.” Bisik Haifa di telinga kiriku. Nafasnya membuat tubuhku berkeringat di dalam kamar ber-AC. Haifa menarik tangan kananku, Haifa memeluk, menggiring tubuhku, Haifa membanting tubuhku keatas kasur spring bad untuk dua orang. Hah! Setelah itu aku merasa tidak sedang ada di Dunia atau di Neraka.
***
Tut…Tut…! Spiker ponselku berbunyi tanda pesan masuk. Bunyi yang membangunkanku dari melamun mengenang pertama kali membeli tubuh Haifa. Huh! Indah, nyaman, menyenangkan!
“Shany. Bisakah kau melupakan taubat dan orientasi hidupmu sejenak, kemudian kembali menikamati tubuhku dua hingga tiga hari saja? Aku benar-benar membutuhkan uang. Aku tunggu kehadiranmu di kota Kairo.” Sms dari Haifa, kembali dikirim.
Taubat yang membuatku tidak memperdulikan sms dari Haifa. Setelah selesai memesan tubuh Haifa untuk yang ketiga puluh kalinya, sejak itu aku berjanji pada Tuhan dan kepada diriku sendiri , Aku tak akan lagi menikmati tubuh yang belum halal bagiku, termasuk tubuh milik Haifa. Orientasi hidup membuatku tak memperdulikan sms dari Haifa.
Di waktu malam, ketika Tuhan lebih sensitif, Aku selalu meminta agar Tuhan menjadikanku seorang Ustadz yang beramal. Sepulang dari negri ini aku akan membangun pondok pesanteren beserta madrasah dari jenjang dasar hingga menengah atas, bahkan, kalau perlu perguruan tinggi islam akan kubangun di kota kelahiranku, nanti. Sekarang, aku sungguh menjadi hamba Tuhan yang bertaubat. Tapi! Sore itu aku berfikir ulang. Tiga puluh kali itu bukan pertemuan yang sedikit. Aku harus membantu kesulitan yang dialami Haifa, lagipula tanpa hadirnya Haifa dalam hidupku apa aku akan menjadi hamba yang penuh dosa? Dosa yang membuatku sadar dan bertaubat seperti sekarang? Pikiran ulang membuatku pergi ke kota Kairo menjumpai Haifa, petang itu.
***
“Walau aku seorang Sarmota, aku bukan termasuk manusia yang tidak mempercayai adanya Tuhan. Aku hanya meragukan eksistensi Tuhan” Di lorong rumah sakit menuju ruang perawatan. Haifa berkata seperti itu.
“Haifa! kenapa kau berkata seperti itu?” Sergahku.
“Shany! Seumur hidupmu kau tidak akan pernah bertanya seperti itu jika kamu berada di posisiku.” Dari balik celah cadarnya, mata Haifa mulai becek.
“Shany! Setelah kau tak membeli tubuhku untuk yang ke tiga puluh satu kalinya, aku juga melakukan apa yang kamu lakukan, bertaubat dan mengubah orientasi hidup, seorang Sarmota jalang berusaha menjadi perempuan shalehah normal!” Tubuh tinggi Haifa membungkuk diatas kursi tunggu warna biru.
“Tapi itu tidak membuatku menjadi baik, Tuhan seperti tidak mampu memberiku uang utuk membeli susu anakku yang lahir dari hasil kawin Urfy, untuk membeli susu anakku yang ditinggal kabur ayahnya ke Saudi Arabia! Shany, semenjak kau tidak membeli tubuhku untuk yang ketiga puluh satu kalinya, Aku tak lagi pergi ke dokter, aku tak lagi pergi ke apotek menebus obat diabetes untuk ibuku! Sekarang kaki ibuku sudah diamputasi! Shany. Bisakah kau sejenak melupakan taubat dan orientasi hidupmu dan kembali menikmati tubuhku? Aku harus membayar sepuluh ribu pound untuk biaya operasi dan rumah sakit, obat dan kaki palsu ibuku. Ayo Shany! Nikamti tubuhku di dalam kamar Hotel di seberang jalan sana!” Cadar warna coklat yang dikenakan Haifa basah.
Huhh! Hidup Haifa tak semolek tubuhnya. Bagiku tak ada rencana untuk mencabut taubatku. Tapi, setelah mendengarkan Haifa malam itu, orientasi hidupku untuk menjadi seorang Ustadz sukses dibuat bergeser. Aku tak lagi ingin menjadi seperti itu. Menjadi Ustadz hanya membuat Sarmota-sarmota seperti Haifa merasa akan masuk neraka. Menjadi Ustadz hanya membuat Sarmota-sarmota seperti Haifa semakain menjadi mengalami dilema. Orientasi hidupku bergeser pada sudut yang paling pinggir. Orientasi hidupku sekarang, menjadi seorang pekerja keras, kemudian kaya dan bisa membuka banyak lapangan pekerjaan untuk Sarmota-sarmota seperti Haifa.
Segera! Kurangkul tubuh lemas Haifa. Tubuhnya masih bergetar karena sesenggukan. Kugiring tubuh Haifa ke arah Halaman Hotel diseberang jalan sana. Kearah mesin ATM milik Bank Syirkah Al ahly Al misry.