INILAH.COM, Jakarta- Siapa yang tidak mengenal Geert Wilders, apalagi belakangan ini ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membatalkan kunjungan ke Belanda. Dialah tokoh yang mengganjal hubungan RI-Belanda, selain Republik Maluku Selatan (RMS).
Wilders, tokoh ultrakanan yang rajin menghina dan menghujat Islam itu juga dikenal sebagai orang yang anti Indonesia. Dialah yang mempelopori kampanye melarang orang Indonesia dan warga dari negara Islam untuk tinggal di Belanda.
Alasan yang dia kemukakan sangat rasialis. Indonesia adalah negara Islam karena 99 persen penduduknya beragama Islam. Karena itu, menurutnya, semua orang Indonesia, apapun agamanya, tidak boleh tinggal di Belanda. Negeri Kincir Angin itu harus bersih dari imigran Muslim.
Pembuat film "Fitna" yang sempat membuat geram SBY itu gemar sekali menghujat Islam. Lewat film kontroversialnya itu, Wilders mengajak warga Belanda, khususnya Eropa untuk membenci Islam. Propagandanya, mengadang orang-orang Islam yang dianggapnya akan menguasai Belanda.
Tapi, siapa sangka kalau ketua Partai untuk Kebebasan (PVV) itu adalah juga seorang Indo, atau keturunan Indonesia. Apa sebetulnya yang menyebabkan orang Sukabumi, Jawa Barat ini begitu membenci Indonesia dan Islam pada umumnya?
Wilders lahir di Venlo, provinsi Limnburg , Belanda, sebuah kota di dekat perbatasan Jerman. Anak bungsu dari empat bersaudara itu memeluk Katolik.
Wilders dilahirkan oleh seorang ibu kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, yang ketika itu merupakan jajahan Belanda. Ayahnya merupakan keturunan seorang asli Utrecht yang menikah dengan perempuan berdarah campuran Jawa-India-Yahudi. Kakeknya hidup terlantar di masa tuanya di Belanda dan membuat Wilders sedih.
September lalu, harian De Groene Amsterdammer menerbitkan artikel yang menyebutkan bahwa Wilders adalah seorang revanchist kultural. Yakni, orang yang membalas dendam karena malu akan asal-usulnya, dalam hal ini asal-usul dari Indonesia. Untuk menutupi darah Timurnya, Wilders bahkan mengecat rambutnya hingga tampak pirang.
Artikel itu menyebutkan, visi politik Wilders mengenai Islam dipengaruhi latar belakang budaya nenek moyangnya di Indonesia. Ia tidak ingin latar belakangnya itu melekat dalam dirinya sehingga dengan berbagai upaya menutupi ciri-ciri keIndonesiannya.
Seorang anthropolog, Lizzy van Leeuwen, menguatkan pandangan tersebut, meskipun Wilders membantahnya. Namun, sebuah foto ketika dirinya remaja memperlihatkan bahwa rambut Wilders yang asli berwarna hitam.
Di masa remaja, Wilders tinggal di Israel selama dua tahun. Wilders mengaku, di Israel dia masih sangat hijau dalam politik karena terlalu sibuk mengejar gadis-gadis Yahudi. Di sana ia menjadi relawan di moshav, sebuah komunitas pertanian di lahan pendudukan Palestina.
Ia amat terpesona dengan Israel dan menyebut dirinya sebagai "Teman Sejati Israel". Dari uang tabungannya selama di Israel ia kemudian hijrah ke negara-negara Arab di dekat Israel. Namun, ia merasa tidak betah karena dinilainya tidak demokratis.
Sekembalinya ke Belanda, kenangan Israel amat membekas dalam dirinya hingga ia menjadi simpatisan Israel. Bahkan ia menganut faham kontraterorisme yang dijalankan Israel dan menyatakan bersimpati pada Israel.
Guru politiknya adalah Frederik 'Frits' Bolkestein, seorang pimpinan Partai Masyarakat untuk Kebebasan dan Demokrasi (VVD). Ia dikenal sebagai pelopor kampanye melegalkan narkoba. Motonya, "Selamatkan Negeri, Legalkan Narkoba". Dari dialah Wilders mendapat inspirasi berpolitik, bahkan terang-terangan mengadopsi cara dia berbicara dan bertingkah laku.
Dengan latar belakang yang erat dengan Israel dan kebenciannya terhadap asal-usulnya, tidak heran bila Wilders amat membenci Islam. Sebagai negara dengan berpenduduk mayoritas beragama Islam, Indonesia mau tidak mau menjadi korban kebenciannya.
Namun, pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana belum melihat Wilders sebagai ancaman bagi Indonesia meskipun mantan Presiden RI BJ Habibie memiliki hubungan kurang baik dengan politisi anti Islam itu.
Kampanye yang diusungnya untuk melarang warga Indonesia tinggal di Belanda juga menurut Hikmahanto tidak memberi pengaruh besar bagi Indonesia. "Saya belum tahu apakah akan berdampak pada kepemimpinan SBY," imbuhnya.
Kini kedudukan Wilders di parlemen Belanda semakin kuat setelah partai pimpinannya, PVV, memenangi cukup banyak kursi. Bahkan ia diajak oleh Partai Kristen Demokrat (CDA) untuk membentuk koalisi dalam pemerintahan mendatang. Meskipun Wilders tidak akan masuk dalam kabinet, namun koalisi itu menjamin akan menjalankan program Wilders.