Terus meningkatnya jumlah penderita HIV AIDS di Papua dan terkuaknya kabar bahwa 144 prajurit TNI terinfeksi HIV/AIDS di provinsi itu seolah membuktikan, pemerintah belum mampu menangani kasus epidemi tersebut.
Minimal mereka bertahan dua minggu dan maksimal lima minggu untuk tidak tergoda.
-- Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPA), Nafsiah Mboi
Namun, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPA) menyatakan, publik sebaiknya tidak memberi stigma buruk pada Papua dan TNI yang tengah bertugas di daerah tersebut. Pihak TNI pun sudah melakukan beberapa upaya preventif yang dinilai cukup berhasil.
"Sebanyak 144 orang dalam 10 tahun, berarti 1 tahun hanya 4 orang, itu jumlah yang relatif kecil. Yang terkena HIV/AIDS (prajurit TNI) juga belum tentu terinfeksi di Papua. Karena itu, jangan menstigma Papua," kata Nafsiah Mboi, Sekretaris KPA Nasional di sela-sela Diskusi Pembahasan Intervensi Pengurangan Dampak Buruk HIV/AIDS di Indonesia, Senin (30/8/2010).
Menurut Nafsiah, infeksi HIV/AIDS bisa terjadi di mana saja. "Hal ini (kasus 144 prajurit TNI terinfeksi) sebenarnya sudah kami ketahui dalam survei tahun 2002. Survei tersebut meliputi semua prajurit yang bertugas di semua daerah di Indonesia. Namun, saat itu kebetulan survei tengah dilakukan di Papua, yang di dalam penelitian, kami juga mengukur ketahanan prajurit untuk tidak melakukan seks. Hasilnya, minimal mereka bertahan dua minggu dan maksimal lima minggu untuk tidak tergoda," kata Nafsiah.
"Jadi, mungkin dia (prajurit) bisa terinfeksi di Manado, Medan, atau di Jawa, walaupun kita tahu prevelensi di Papua lebih tinggi dibanding yang lain," lanjut Nafsiah.
Nafsiah juga memaparkan, publik pun tidak boleh menstigma kalangan prajurit. "Jangan menstigma TNI karena semua laki-laki bisa terkena HIV/AIDS. Juga jangan menstigma TNI yang membeli seks atau melakukan hubungan seks tanpa menggunakan kondom karena, meskipun dalam rumah tangga, bisa juga terserang HIV/AIDS," kata Nafsiah.
Nafsiah menilai, sejumlah prajurit terinfeksi HIV/AIDs karena profesi ini merupakan pekerjaan yang berisiko tinggi. "TNI merupakan pekerjaan yang termasuk high risk occupation. Pertama, karena dia macho, kedua sering ditempatkan di daerah-daerah yang jauh dari keluarga untuk waktu yang lama. Risiko untuk tergoda melakukan hubungan seks berisiko itu lebih besar," kata Nafsiah.
Nafsiah juga menyatakan salut kepada TNI karena berani mengungkapkan fakta tersebut. "Saya salut kepada Panglima di Cendrawasih karena berani mengungkapkan hal tersebut. Oleh karena itu, kami sudah mengajukan tindakan penanggulangan," katanya.
Menurut Nafsiah, salah satu upaya penanggulangan berbentuk pencegahan. "Yaitu sosialisasi kepada semua anggota TNI, per leader (per ketua regu), dan diskusi biasa. Selain itu, mereka juga sudah dibekali pendidikan agama, ketahanan keluarga, ketahanan iman untuk bisa bilang 'say no to sex'," kata Nafsiah.
TNI juga mengadakan survei secara berkala dan berkelanjutan serta berusaha menemukan cara cepat untuk mengetahui seorang prajurit terkena HIV atau tidak. Nafsiah juga mengatakan, pihak TNI sudah setuju bahwa pemecatan bukan jalan keluar utama bagi prajurit yang sudah terjangkit virus HIV.
"Bagi mereka yang sudah terkena HIV dalam rentang stadium rendah, mereka masih bisa produktif. Karena itu, oleh TNI, mereka akan diberikan konseling. Konseling meliputi jaga menjaga diri sendiri, yaitu menjaga berat badan agar tidak terkena AIDS dan kemudian diajarkan bertanggung jawab kepada keluarga. Artinya, apabila mereka sudah berkeluarga, wajib menggunakan kondom apabila berhubungan seks dengan pasangannya," kata Nafsiah.
Nafsiah pun memaparkan bahwa sejak adanya Peraturan Presiden No 75 tahun 2006, TNI terhitung sebagai anggota Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, dan tahun 2007 program TNI lebih sistematis. Dalam hal ini, Panglima TNI Djoko Suyanto setuju bahwa Panglima TNI beserta jajarannya ikut menjadi penentu dari keberhasilan upaya penanggulangan AIDS di Tanah Air.
Namun, Nafsiah menegaskan bahwa ia maklum apabila kaum TNI tergoda. "Kita harus tetap manusiawi terhadap keadaan mereka. Tetapi, jika mengerti bahwa mereka manusia, maka apabila dia tergoda, boleh menggunakan kondom, " tandas Nafsiah.
Menurut Nafsiah, infeksi HIV/AIDS bisa terjadi di mana saja. "Hal ini (kasus 144 prajurit TNI terinfeksi) sebenarnya sudah kami ketahui dalam survei tahun 2002. Survei tersebut meliputi semua prajurit yang bertugas di semua daerah di Indonesia. Namun, saat itu kebetulan survei tengah dilakukan di Papua, yang di dalam penelitian, kami juga mengukur ketahanan prajurit untuk tidak melakukan seks. Hasilnya, minimal mereka bertahan dua minggu dan maksimal lima minggu untuk tidak tergoda," kata Nafsiah.
"Jadi, mungkin dia (prajurit) bisa terinfeksi di Manado, Medan, atau di Jawa, walaupun kita tahu prevelensi di Papua lebih tinggi dibanding yang lain," lanjut Nafsiah.
Nafsiah juga memaparkan, publik pun tidak boleh menstigma kalangan prajurit. "Jangan menstigma TNI karena semua laki-laki bisa terkena HIV/AIDS. Juga jangan menstigma TNI yang membeli seks atau melakukan hubungan seks tanpa menggunakan kondom karena, meskipun dalam rumah tangga, bisa juga terserang HIV/AIDS," kata Nafsiah.
Nafsiah menilai, sejumlah prajurit terinfeksi HIV/AIDs karena profesi ini merupakan pekerjaan yang berisiko tinggi. "TNI merupakan pekerjaan yang termasuk high risk occupation. Pertama, karena dia macho, kedua sering ditempatkan di daerah-daerah yang jauh dari keluarga untuk waktu yang lama. Risiko untuk tergoda melakukan hubungan seks berisiko itu lebih besar," kata Nafsiah.
Nafsiah juga menyatakan salut kepada TNI karena berani mengungkapkan fakta tersebut. "Saya salut kepada Panglima di Cendrawasih karena berani mengungkapkan hal tersebut. Oleh karena itu, kami sudah mengajukan tindakan penanggulangan," katanya.
Menurut Nafsiah, salah satu upaya penanggulangan berbentuk pencegahan. "Yaitu sosialisasi kepada semua anggota TNI, per leader (per ketua regu), dan diskusi biasa. Selain itu, mereka juga sudah dibekali pendidikan agama, ketahanan keluarga, ketahanan iman untuk bisa bilang 'say no to sex'," kata Nafsiah.
TNI juga mengadakan survei secara berkala dan berkelanjutan serta berusaha menemukan cara cepat untuk mengetahui seorang prajurit terkena HIV atau tidak. Nafsiah juga mengatakan, pihak TNI sudah setuju bahwa pemecatan bukan jalan keluar utama bagi prajurit yang sudah terjangkit virus HIV.
"Bagi mereka yang sudah terkena HIV dalam rentang stadium rendah, mereka masih bisa produktif. Karena itu, oleh TNI, mereka akan diberikan konseling. Konseling meliputi jaga menjaga diri sendiri, yaitu menjaga berat badan agar tidak terkena AIDS dan kemudian diajarkan bertanggung jawab kepada keluarga. Artinya, apabila mereka sudah berkeluarga, wajib menggunakan kondom apabila berhubungan seks dengan pasangannya," kata Nafsiah.
Nafsiah pun memaparkan bahwa sejak adanya Peraturan Presiden No 75 tahun 2006, TNI terhitung sebagai anggota Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, dan tahun 2007 program TNI lebih sistematis. Dalam hal ini, Panglima TNI Djoko Suyanto setuju bahwa Panglima TNI beserta jajarannya ikut menjadi penentu dari keberhasilan upaya penanggulangan AIDS di Tanah Air.
Namun, Nafsiah menegaskan bahwa ia maklum apabila kaum TNI tergoda. "Kita harus tetap manusiawi terhadap keadaan mereka. Tetapi, jika mengerti bahwa mereka manusia, maka apabila dia tergoda, boleh menggunakan kondom, " tandas Nafsiah.